Teks ulasan adalah teks yang mengulas sebuah fenomena ataupun sesuatu (misal: buku, film, dsb). Teks ini memiliki ciri: 1. Strukturnya terdiri atas: Orientasi, Tafsiran, Evaluasi, dan Rangkuman; 2. Memuat informasi berdasarkan pandangan/ opini penulis terhadap suatu karya/ produk; 3. Opininya berdasarkan fakta yang diinterpretasikan; 4. Dikenal dengan istilah lain yaitu resensi.
Berikut contoh teks ulasan tentang Restorasi Film Naga Bonar:
Struktur Teks:
Bagian Orientasi: "Film adalah artefak budaya yang sangat perlu dilestarikan.....dst".
Bagian Tafsiran: "Film "Naga Bonar" sendiri merupakan film.....dst".
Bagian Evaluasi: "Untuk dapat diputar kembali.....dst".
Bagian Rangkuman: "Sungguh suatu kebahagian.....dst".
Referensi:
id.wikipedia.org/wiki/Naga_Bonar
http://jurnalfootage.net/v4/artikel/restorasi-lewat-djam-malam-renungan-terhadap-pengalaman-teknologi-digitalisasi
https://gudeg.net/id/news/2008/05/3635/Flashback-Sejenak-Lewat-Film-Naga-Bonar.html
http://www.muvila.com/movies/reportage/kemendikbud-dan-sinematek-digitalisasi-29-film-indonesia-klasik-130403h.html
Berikut contoh teks ulasan tentang Restorasi Film Naga Bonar:
Film adalah artefak budaya yang sangat perlu dilestarikan sama halnya dengan artefak budaya kita yang lainnya. Sebagai karya seni, film mengandung artefak sejarah seperti halnya sebuah candi juga mengandung dokumen sosial dan sejarah. Realisme pada film sesungguhnya adalah imajinasi sang pembuat yang berasal dari endapannya dalam memandang realitas pada situasi dan kondisi realitas sosial film tersebut di buat. Bahkan menurut JB Kristanto, film adalah artefak budaya yang ‘aktif’ karena kita menyaksikan masa lalu secara ‘hidup’. Sehingga, merestorasi sebuah film adalah usaha melestarikan artefak budaya yang penting untuk dilakukan, sebagai bagian menyelamatkan warisan sejarah bangsa.
Beberapa hari ini, KompasTV menayangkan iklan pemutaran film Naga Bonar menjelang pergantian tahun 2014-2015. Dalam iklannya, KompasTV mengklaim kesempatan bagus menonton kembali film mahakarya anak bangsa ini dalam keadaan yang 'bersih' hasil teknologi restorasi digital. Restorsi film merupakan sebuah tindakan mereproduksi sebuah film agar dapat bisa terlihat dan dapat dilihat.
Film "Naga Bonar" sendiri merupakan film garapan sutradara M.T. Risyaf pada tahun 1987 yang dibintangi Deddy Mizwar, Nurul Arifin, dan Afrizal Anoda. Film ini merupakan film komedi situasi yang mengambil latar peristiwa perang kemerdekaan Indonesia ketika sedang melawan kedatangan pasukan Kerajaan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia di daerah Sumatera Utara. Sekuelnya juga sudah dibuat bertajuk "Naga Bonar (Jadi) 2" (2007) yang ternyata sukses ditonton oleh banyak orang. Ini berarti, masyarakat kita butuh keragaman tema film. Tidak sekadar film horor saja.
Disamping itu, untuk saat ini film asli Indonesia dengan genre nasionalime masih sangat minim ditemukan di pasaran film Indonesia, yang masih banyak hanyalah film bertema cinta dan hantu.
Naga Bonar (Deddy Mizwar) adalah seorang pencopet di Medan yang sering keluar-masuk penjara Jepang, ia bersahabat dengan seorang pemuda bernama Bujang. Sepulang dari penjara, Bang Pohan (Piet Pagau) mengabarkan tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan di Jakarta, dan di Medan yang belum sempat dimerdekakan harus memperangi Belanda yang sudah memasuki wilayah Indonesia dengan maksud untuk berkuasa lagi. Lewat narator radio, diceritakan penolong Naga Bonar ketika sakit, Dokter Zulbi yang merupakan teman Bang Pohan diperkirakan sebagai mata-mata Belanda yang ternyata itu hanya isu. Naga Bonarpun menjadi tentara garis depan dalam perlawanan terhadap Belanda. Setelah beberapa perlawanan yang sengit, Naga Bonar dititahkan dari markas untuk mundur karena perundingan dengan Belanda mau dilaksanakan.
Perpindahan pasukan dari desa ke markas menjadi saat Naga Bonar mulai tertarik dengan anak Dokter Zulbi, Kirana (Nurul Arifin). Pada perundingan Belanda dengan Indonesia, Naga Bonar yang menjadi wakil Indonesia justru menunjuk Parit Buntar sebagai tempat wilayah tentaranya (karena Naga Bonar tidak bisa membaca peta). Juru tulis pasukan, Lukman, mengatakan bahwa Parit Buntar adalah tempat yang sudah diduduki oleh Belanda. Setelah itu, Naga Bonar mulai mendekati Kirana dengan hasil yang memuaskan. Sehari setelah itu, Bujang mengambil baju jenderal Naga Bonar dan pergi ke Parit Buntar untuk melawan Belanda, naas, ia tewas. Akhirnya bersama dengan Kirana, dan pasukannya pergi ke Parit Buntar untuk memusnahkan markas Belanda dan berhasil. Film diakhiri dengan orasi Naga Bonar dan Kirana kepada pemuda indonesia.
Untuk dapat diputar kembali, film penyabet penghargaan kategori terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1987 ini harus melalui proses restorasi pita induk atau remastering terlebih dahulu karena kondisi master negatifnya yang telah parah.
Film dengan 144.000 frame dan berdurasi 95 menit ini, dari proses pertama restorasi hingga dapat kembali diputar dengan fasilitas teknologi dolby surround digital, kurang lebih telah menghabiskan biaya sekitar tiga kali biaya produksi film hantu. Satu film hantu kira-kira menelan biaya sekitar 1 M.
Sungguh suatu kebahagian tersendiri, sebuah arsip atau karya film Indonesia di masa lampau, dalam hal ini karya Usmar Ismail, bisa kita saksikan dalam format yang telah di restorasi. Pentingnya sebuah karya film yang direstorasi itu sendiri adalah bagaimana kita bisa menyaksikan sebuah karya film-film produksi terdahulu dalam bentuknya yang utuh. Hal ini tidak lain karena beberapa arsip film Indonesia yang diproduksi di masa lampau tidak mengalami perawatan yang memadai. Sehingga beberapa film klasik Indonesia tersebut, tidak bisa disaksikan dalam kondisi utuh seperti kondisi awal ketika diproduksi. Setidaknya pengertian utuh di sini adalah perihal film dalam bentuk (form) asalnya sangat dipengaruhi oleh material film yang mengalami kerusakan karena usia dan perawatan yang tidak memadai.
Sebanyak 29 film Indonesia klasik (termasuk Naga Bonar) telah didigitalisasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia dan Sinematek Indonesia dengan memakan biaya sebesar Rp 3 miliar. Film-film Indonesia ini terpilih untuk didigitalisasi karena bersinar di ajang-ajang penghargaan, mewakili fenomena pada zamannya, dan terbilang langka serta unik. Jadi, di malam pergantian tahun nanti, kita duduk di depan saluran KompasTV menyaksikan salah satu mahakarya anak bangsa, Naga Bonar.
Struktur Teks:
Bagian Orientasi: "Film adalah artefak budaya yang sangat perlu dilestarikan.....dst".
Bagian Tafsiran: "Film "Naga Bonar" sendiri merupakan film.....dst".
Bagian Evaluasi: "Untuk dapat diputar kembali.....dst".
Bagian Rangkuman: "Sungguh suatu kebahagian.....dst".
Referensi:
id.wikipedia.org/wiki/Naga_Bonar
http://jurnalfootage.net/v4/artikel/restorasi-lewat-djam-malam-renungan-terhadap-pengalaman-teknologi-digitalisasi
https://gudeg.net/id/news/2008/05/3635/Flashback-Sejenak-Lewat-Film-Naga-Bonar.html
http://www.muvila.com/movies/reportage/kemendikbud-dan-sinematek-digitalisasi-29-film-indonesia-klasik-130403h.html