Artikel Terbaru: |
loading...
Oleh: Achmad Yani
Kali ini, aku bercerita tentang nenekku. Nenekku adalah mama dari mamaku. Satu hal yang paling aku ingat dari nenekku adalah rambut nenek. Aku ingat kejadian lima tahun lalu. Ketika aku masih berumur sembilan tahun. Aku tersenyum membayangkannya.
Waktu itu, rambut nenekku mulai beruban.
Suatu hari, nenek memanggilku. ”Yan, kamu sayang nenek, kan? Nenek boleh minta tolong tidak?” tanya nenek.
“Tentu saja Yani sayang nenek. Minta tolong apa, Nek?” tanyaku.
“Rambut nenek sudah mulai beruban, nih. Tolong dong, cabutin uban nenek.”
“Huahahaha . . . ,” aku tertawa terbahak-bahak mendengar permintaan nenek yang lucu. Tapi nenek tidak tertawa. Nenek malah memandangiku dengan heran. “Kenapa Yan tertawa?” tanya nenek.
“Habis . . . nenek lucu,” kataku masih tertawa. “Masa Yani disuruh mencabut uban nenek?”
“Iya, Yan. Nanti nenek beri hadiah deh!” rayu nenek.
Wow, mataku mulai membesar. “Apa hadiahnya, Nek?” tanyaku mulai bersemangat.
“Seribu rupiah untuk setiap uban yang Yani dapatkan!” jawab nenek menggoda.
Wuih, asyik nih! “Setuju!” teriakku sambil menempelkan jempolku ke jempol nenek. Itu sebuah tanda kalau kami punya sebuah perjanjian.
Kini, aku sedang memegang celengan kaleng berbentuk kura-kura. Air mataku menetes. Setahun yang lalu nenek sakit parah dan harus masuk rumah sakit. Oh, aku terlalu sedih untuk menceritakan hal ini. Kata mama, nenek sakit kanker. Sebenarnya aku tidak juga terlalu mengerti tentang sakit kanker ini. Tapi kata mama, nenek harus menjalani pengobatan yang lama. Aku heran ketika menjenguk nenek. Aku melihat nenek memakai tutup kepala.
“Kenapa nenek memakai penutup di kepala?” tanyaku.
Nenek tersenyum. “Sayang, karena nenek dikemoterapi, rambut nenek jadi rontok. Sekarang nenek tak punya rambut lagi,” jelas nenek.
Astaga! Aku terkejut! Apakah harus seperti itu? Oh,aku sedih sekali mendengarnya.
“Kenapa bersedih, Yan? Bukankah tugasmu berkurang satu? Kamu tidak perlu lagi mencabuti uban nenek, kan?” canda nenek.
Ah, nenekku seorang nenek hebat! Biar pun sedih dan sakit, nenek masih bisa bercanda dan tertawa. Aku mengangkat celengan di tanganku. Hmm . . . . Lumayan berat! Ini adalah hasil kerja kerasku mencabuti rambut putih nenek. Aku memang sengaja menyisihkan uang itu untuk ditabung. Besok adalah ulang tahun nenek. Dan aku punya rencana buat nenek. Cepat-cepat kubuka celengan itu lalu kuhitung isinya. Tiga ratus lima puluh lima ribu rupiah. Berarti aku sudah mencabut tiga ratus lima puluh lima helai rambut putih nenek. Oh, banyak sekali! Ups, tidak. Tidak sebanyak itu! Aku ingat nenek pernah memberiku seratus ribu rupah sebagai hadiah ulang tahunku.
Hari ini aku bangun dengan semangat. Kak Nana akan mengantarku jalan-jalan ke toko. Ah, senangnya punya kakak begitu. Dia mau mengantar dan menungguku memilih hadiah buat nenek. Bahkan, Kak Nana ikut memilihkan.
“Selamat ulang tahun, Nek!” bisikku menciumi pipi nenek.
Hari ini nenek kelihatan lebih sehat. Kata dokter, kesehatan nenek semakin membaik. Aku senang mendengarnya.
“Terima kasih, sayang. Wah, apa ini?” Cepat-cepat nenek membuka bungkusnya. “Oh, sayangku! Terima kasih, anak manis!” nenek mengecup pipiku.
“Itu berasal dari rambut nenek!” kataku.
Nenek mengernyitkan dahinya. “Maksud Yani?”
Aku pun bercerita.
Nenek tertawa. “Oh. Jadi, dari rambut ke rambut!” seru nenek.
Aku ikut tertawa. Aku senang sekali, nenek terlihat cantik dengan wig baru hadiah ulang tahun dariku.