loading...

Panggung Sandiwara

Artikel Terbaru:
loading...


PANGGUNG SANDIWARA
Karya: Fajar DN (Siswa SMP Plus, alumni 2009)


Pagi ini, Pak Yadi, guru bahasa Indonesia, mengumumkan sekolah akan memberi kesempatan murid kelas sembilan B untuk bermain drama. Pertunjukannya akan diselenggarakan pada acara tutup tahun ajaran, dua bulan depan.
”Tentu saja tidak seluruh murid akan naik ke panggung,” kata Pak Yadi. ”Yang berminat, silakan mendaftar untuk audisi usai jam pelajaran terakhir,” kata Pak Yadi.
Murid-murid kelas sembilan B pun saling berbisik penuh semangat. Panggung sandiwara? Wow! Ini sangat menyenangkan.
”Kita jadi artis donk!” bisik Bayu kepada Ruby sambil cengengesan. Ruby pun mengangguk dengan antusias.
”Pak, ceritanya nanti tentang apa?” tanya Faisal.
Pak Yadi tersenyum. ”Tentang dua ekor monyet jantan yang saling berdebat. Siapa di antara kalian yang mirip, nanti bisa Bapak pakai. Mereka lalu meminta pendapat tupai, burung, pohon-pohon, dan matahari.”
Pak Yadi lalu menerangkan, cerita itu mengandung pesan, agar kita tidak menyelesaikan masalah dengan bertengkar, karena semua pasti akan rugi.
”Aku mau, Pak!” seru Dinia.
”Wueee, kamu kan anak perempuan,” sanggah Yusuf. ”Aku dong yang pantas!” sambungnya mencibir.
”Pak Yadi tidak akan membedakan perempuan dan laki-laki,” bantah Dinia, ”Ini soal kemampuan akting!”
Cyntia mengangguk-angguk setuju. ”Aku juga mau!” katanya. ”Aku pasti hebat jadi pemeran utama.”
Begitulah, semua bersemangat mendaftar menjadi monyet jantan. Tak ada satu pun yang berminat menjadi tupai, burung, pohon-pohon, dan matahari. Apalagi menjadi tokoh manusia yang dialognya hanya satu kalimat, karena tokoh manusia itu datang hanya untuk membawa monyet itu ke pasar. Namun, Pak Yadi berpendapat lain. Semua harus mencoba berbagai macam peran.
Akhirnya, setelah satu jam, Pak Yadi memutuskan Ruby dan Dinia menjadi monyet jantannya. Bayu sebagai matahari, Yusuf dan Cyntia sebagai pohon-pohon, Faisal sebagai burung, dan Denis yang paling bongsor di kelas sembilan B mjd manusia.
Selain Ruby dan Dinia, hampir semua mendadak berwajah keruh. Anak-anak yang tidak terpilih keluar ruangan sambil menggerutu. Sesekali mereka melirik Ruby dan Dinia yang sedang tersenyum girang.
”Ini tidak adil. Aku tidak mau mendapat peran kecil,” sungut Yusuf marah.
”Ya betul. Kamu pasti kelihatan seperti bayi matahari di film teletubies!” ledek Faisal.
”Kalian lebih beruntung. Kami akan jadi pohon buat gelantungan mereka. Dialognya pun hanya sedikit dan harus dibagi berempat!” kata Cyntia kecewa. Dia betul-betul iri pada Ruby dan Dinia. ”Kita jadi kelihatan tidak penting. Lagi pula, Ruby dan Dinia menurutku enggak bagus-bagus amat!”
Mendengar itu, Dinia melirik Cyntia dengan sebal.
Pak Yadi tersenyum diam-diam mendengar gerutuan murid-muridnya. Kemudian diraihnya tumpukan naskah di meja dan dibagikannya pada anak-anak.
”Bapak tahu, di antara kalian pasti ada yang tidak puas dengan peran yang didapat. Jadi . . . , Bapak akan kasih kesempatan pada kalian semua untuk menghapal dialog monyet jantan. ”Cyntia dan Yusuf juga latihan ya!” pesan Pak Yadi.
Ternyata pasangan monyet jantan Ruby dan Dinia lah yang terbaik. Dalam dua hari, mereka berhasil menghapal sebagian besar dialog dan berakting dengan bagus sekali. Semua teman yang menonton pun bertepuk tangan.
Pak Yadi pun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum lebar. ”Nah, anak-anak. Ternyata mudah menentukan siapa yang cocok dengan perannya masing-masing. Kalian semua puas, kan?”
Anak-anak mengangguk-angguk sambil tersenyum-senyum.
”Tidak ada iri lagi yaa?” seru Pak Yadi.
”Tidaaak, Paaak,” balas semua serempak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...