Artikel Terbaru: |
loading...
Hari-hari belakangan ini, jelas merupakan hari yg menegangkan bagi semua insan pendidikan (termasuk orangtua siswa). Ya, ujian nasional untuk SMA/MA, SMP/MTs, dan SD/MI telah usai digelar. Minggu ini dan tiga minggu ke depan berlanjut dengan ketegangan menunggu hasilnya. Ketegangan yang dirasakan siswa dan orangtuanya, jelas tidak sebesar sebagaimana yang guru dan kepala sekolah rasakan. Jika siswa dan orangtua hanya memikirkan dirinya dan anaknya saja, guru dan kepala sekolah memikirkan sekian banyak siswa yang duduk di kelas akhir tersebut. Bandingkan, siapa yang memikul beban yang paling berat? Benar. Tentulah pihak sekolah (baca: guru)!!!!!!
Guru dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis. Di satu sisi, ia memiliki rasa kemanusiaan, ingin agar anak didiknya dapat lulus seratus persen, tidak ada yang tertinggal, sehingga terkadang tindakan yg curang pun dilakukan. Di sisi lain, tentu sebagai seorang pendidik, ia juga harus menjunjung tinggi sportivitas dan nilai-nilai kejujuran.
Pilihan yang sulit. Di sisi kemanusiaan, jelas dengan tindakan curang tersebut, guru berarti mempertaruhkan periuk nasinya. Tindakannya itu bisa saja berujung di sel tahanan.
Sedangkan di sisi kejujuran (tanpa bermaksud meremehkan kemampuan peserta didik), kemungkinan akan terjadi tingkat kelulusan yang tidak seratus persen.
Di lain pihak, pendidikan masih dijadikan komoditas politik. Untuk mengurusi pendidikan, seperti yang pernah dikatakan Mendiknas, diperlukan politik pendidikan, tapi tidak kemudian menjadikannya sebagai komoditas. Nyatanya, harapan Mendiknas hanya tinggal harapan. Dalih bahwa ujian nasional bisa dijadikan sebagai patokan untuk menstandarkan pendidikan, dapat diterima. Tetapi, terlalu banyak ekses negatifnya dibanding positifnya: tekanan fisik dan psikis, kecurangan-kecurangan, dan peluang korupsi (sebab ujian nasional menjadi lahan proyek dan itu menghabiskan banyak uang) merupakan hal yang perlu dipertimbangkan sebagai akibat dari kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, Ujian Nasional harus ditinjau ulang pelaksanaannya. Tidak harus dihapuskan, tetapi kriteria kelulusannya harus diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Nilai hasil ujian nasional menjadi Nilai Evaluasi Murni (NEM), terpisah dengan nilai hasil ujian sekolah. Nilai rata-rata kelulusan pun seyogyanya diserahkan kepada sekolah saja. Dengan begitu, ‘kecurangan berjamaah’ minimal dapat dikurangi, walau tidak dapat mengikis habis. Maka, kembalikan pendidikan kepada guru!!!!
Mohon maaf..........:Takut juga nih, kalau-kalau dibaca atasan.....
Guru dihadapkan pada dua pilihan yang dilematis. Di satu sisi, ia memiliki rasa kemanusiaan, ingin agar anak didiknya dapat lulus seratus persen, tidak ada yang tertinggal, sehingga terkadang tindakan yg curang pun dilakukan. Di sisi lain, tentu sebagai seorang pendidik, ia juga harus menjunjung tinggi sportivitas dan nilai-nilai kejujuran.
Pilihan yang sulit. Di sisi kemanusiaan, jelas dengan tindakan curang tersebut, guru berarti mempertaruhkan periuk nasinya. Tindakannya itu bisa saja berujung di sel tahanan.
Sedangkan di sisi kejujuran (tanpa bermaksud meremehkan kemampuan peserta didik), kemungkinan akan terjadi tingkat kelulusan yang tidak seratus persen.
Di lain pihak, pendidikan masih dijadikan komoditas politik. Untuk mengurusi pendidikan, seperti yang pernah dikatakan Mendiknas, diperlukan politik pendidikan, tapi tidak kemudian menjadikannya sebagai komoditas. Nyatanya, harapan Mendiknas hanya tinggal harapan. Dalih bahwa ujian nasional bisa dijadikan sebagai patokan untuk menstandarkan pendidikan, dapat diterima. Tetapi, terlalu banyak ekses negatifnya dibanding positifnya: tekanan fisik dan psikis, kecurangan-kecurangan, dan peluang korupsi (sebab ujian nasional menjadi lahan proyek dan itu menghabiskan banyak uang) merupakan hal yang perlu dipertimbangkan sebagai akibat dari kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, Ujian Nasional harus ditinjau ulang pelaksanaannya. Tidak harus dihapuskan, tetapi kriteria kelulusannya harus diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Nilai hasil ujian nasional menjadi Nilai Evaluasi Murni (NEM), terpisah dengan nilai hasil ujian sekolah. Nilai rata-rata kelulusan pun seyogyanya diserahkan kepada sekolah saja. Dengan begitu, ‘kecurangan berjamaah’ minimal dapat dikurangi, walau tidak dapat mengikis habis. Maka, kembalikan pendidikan kepada guru!!!!
Mohon maaf..........:Takut juga nih, kalau-kalau dibaca atasan.....