Artikel Terbaru: |
loading...
Saya tak salah memilih film Tendangan dari Langit ini untuk saya tonton bersama keluarga saya. Ketika hari pertama lebaran, sesudah shalat Ied di Sabilal, dan silaturrahim ke rumah mertua dan sanak famili lainnya di Banjarmasin, saya membawa istri dan dua anak saya (3 tahun dan 7 tahun) mengayunkan tujuan ke Duta Mall. Saat tiba, jam baru menunjukkan pukul 11.17 WITA. Menurut petugas, mall baru dibuka pukul 12.00, namun sudah banyak pengunjung yang datang. Tepat pukul 12.00, pintu mall dibuka. Kami segera menuju ke Studio 21. Dari 8 film yang ditayangkan, saya memilih TDL, dan seperti yang telah saya sebut di atas, ini merupakan pilihan yang tepat: Cocok buat kami orangtua dan cocok buat anak-anak saya (padahal saat itu film Di Bawah Lindungan Ka'bah juga sedang diputar. Tapi, karena pertimbangan anak-anak, saya harus memilih TDL).
TDL merupakan film yang komplit, ada suka, sedih, dan juga lucu. Bukan sekadar film tentang bola, tapi juga tentang persahabatan yang indah, tentang cinta anak dan orangtua, tentang cita-cita, tentang optimisme, dan juga..... politik (walau dalam skala kecil).
Kalian dapat menyaksikan bagaimana indahnya persahabatn Wahyu (Yosie Kristanto), Indah (Maudy Ayunda) dan Meli (Natasha Chairani), serta Purnomo (Joshua), si penyair dan Jordy yg kocak (maaf saya lupa nama tokoh yg dia mainkan). Keindahan itu bisa kalian saksikan ketika Indah mau hadir atas permintaan Wahyu di pertandingan bola antardesa.
Belakangan, ketika Indah meminta Wahyu untuk hadir di Balai Kota dalam Lomba Debat Bahasa Inggris mewakili sekolah, Wahyu terlambat datang gara-gara menolong anak-anak bertampang Indo yang dikejar anak-anak lain dan mengantarkan mereka pulang ke rumahnya. Ternyata kedua anak yang ditolong Wahyu itu adalah anak Timo, pelatih Persema Malang. Dari sini, mimpi Wahyu dimulai. Namun, ganjarannya, Indah tidak konsentrasi bertanding karena mencari-cari wajah Wahyu di antara penonton, dan hanya juara dua yang didapat. Indah marah, dan minta tak mau lagi ditemui oleh Wahyu. Begitu pula bagaimana indahnya dukungan dari kedua teman Wahyu: Joshua dan Jordy. Mereka merupakan teman-teman Wahyu yg setia. Mereka pulalah yang membesar-besarkan berita bahwa Wahyu mengikuti Try Out di Persema. Try Out-nya memang benar tetapi cerita yang diumbar Joshua dan Jordy yang dilebih-lebihkan.
Kalian dapat lihat bagaimana tingkah Joshua bercerita kepada teman sekolah dan kampungnya tentang Wahyu dengan gayanya yang sok penyair (lihat di Thriler 2 menit ke 01.10), dan tingkah Jordy (sebagai Mitro???) yang kocak yang mengatakan bahwa Wahyu selalu menelepon dirinya tiap hari dan mengatakan sedang makan bareng sama Irfan Bachdim (Lihat di Thriler 2 menit ke 01.35). Beberapa adegan mereka ketika di kelas, juga tak kalah serunya. Kalian bisa bergelak tawa ketika pelajaran B.Inggris, Wahyu ditanya oleh gurunya tentang arti "Don't look the book from the cover." Wahyu dengan polosnya menjawab: "Jangan lihat buku dari covernya, Bu." Sontak saja, rekan-rekan di kelasnya tertawa-tawa, termasuk Indah. Wahyu diceritakan memang tak pandai dalam pelajaran B.Inggris. Ia percaya saja ketika mengetuk pintu kamar Indah untuk sekadar menanyakan apa arti kalimat di poster Irfan Bachdim yang ia dapatkan dari pelatih Persema tersebut. Indah yang masih marah gara-gara Wahyu terlambat datang di acara Debat B.Inggris itupun menjawab: "Jangan pernah temui aku lagi" (tulisan di posternya sih kurang lebih: "Don't ever give up"
Sebagaimana cerita pada umumnya, konflik selalu ada. Konflik yang nyata adalah bagaimana bencinya ayah Wahyu (diperankan oleh Sujiwo Tejo) keika mendengar anaknya itu ternyata memilih bermain bola daripada menemaninya jualan. Sepatu bola Wahyu dibakar. Kesedihan pun dimulai. Namun Wahyu merupakan anak yang berbakti, ia lalu meminta maaf pada ayahnya (ini sungguh adegan yg mengharukan, lho). Adegan haru lainnya adalah ketika Wahyu lagi-lagi bermain bola atas bujukan Agus Kuncoro yg memberi iming-iming hadiah yg lebih besar agar bisa membelikan sesuatu untuk ayahnya. Ketika masih di lapangan bola desa (yang juga ada warung kopinya), Wahyu sempat menanyakan alasan mengapa ayahnya sangat benci dengan sepakbola kepada Agus Kuncoro, tiba-tiba ayah Wahyu datang. Ia mengamuk, berkelahi dengan Agus dan menampar Wahyu hingga terpelanting. Meredam kemarahan ayahnya, Wahyu lalu berjanji tidak akan lagi bermain bola. Dan kemudian, memberikan seekor kuda kepada ayahnya, hadiah yang ia dapat karena memenangkan klubnya. Ayah Wahyu terdiam (ketika adegan ini, penonton dibuat tertawa dengan adegan tukang warung yg sembunyi di balik warungnya, ketakutan melihat amarah ayah Wahyu).
Sejak mendapat kuda, ayah Wahyu berubah ceria, dan tak pernah murung lagi (Oh, ya... Kalian cari tahu sendiri, apa alasan ayah Wahyu begitu benci dengan bola, tonton saja sendiri). Dan berikutnya, kalian akan merasakan bagaimana hangatnya ayah dan anak ini menjalani hidup selanjutnya. Kalian akan rasakan keharuan ketika Wahyu menanyakan kepada ayahnya, mana yang dipilih: cinta ataukah sepakbola.
Cerita ini juga dibumbui politik (menurut pendapat saya, sekadar istilah saja). Sebagai seorang pelatih klub sepakbola di desanya, tokoh yg dimainkan oleh Agus Kuncoro, hanya menggunakan tenaga Wahyu untuk dibayar memenangkan prtandingan sehingga dapat mendongkrak popularitas pemilik klub untuk dapat dipilih lagi dalam pemilu kepala desa. Agus Kuncoro juga sempat berusaha memanfaatkan momen Wahyu dipanggil mengikuti Try Out di Persema untuk numpang nge-TOP (walaupun sebenarnya orangnya baik dan berjasa juga bagi Wahyu).
Konflik memuncak ketika pelatih Timo menyatakan Wahyu tak lolos Try Out karena dari hasil pemeriksaan medis, ada kelainan di lutut kanan Wahyu. Ayah Wahyu marah besar, sementara Wahyu meringkuk di kamarnya menahan kesedihan sambil mendengar celotehan dan amukan ayahnya. Sedangkan ibunya hanya terdiam dengan kesedihan yang tak terkira. Namun, setelah sadar, ayah Wahyu kemudian meminta maaf kepada Wahyu dan berusaha membesarkan hati anaknya.
Di tengah keterpurukannya, Wahyu bangkit. Tak lagi sedih melihat keakraban Indah dengan Hendro (diperankan Giorgino), teman sekelasnya dan Indah. Ia kembali bermain bola, antarkecamatan. Dan Agus Kuncoro sangat senang atas kenyataan itu.
Ketegangan kembali datang ketika Wahyu mengalami cedera dalam pertandingan namun ia ditolong oleh psikoterapis Persema, Matias Ibo, Irfan Bachdim, dan Kim Kurniawan yang datang tepat waktu. Mereka datang hendak menyampaikan pesan Timo bahwa kelainan di lutut Wahyu dapat disembuhkan asal ditangani secara profesional.
Menonton film ini, dijamin kening kalian tidak akan berkerut. Kalian tidak akan pulang membawa kehampaan karena ending cerita yang bahagia (happy ending), bukan ending terbuka (open ending).
Selain mata kita yang dimanjakan oleh indahnya panorama gunung Bromo, akhir cerita TDL sungguh membahagiakan. Tidak ada dendam dari Hendro yg belakangan dekat dengan Indah karena akhirnya Indah lebih memilih Wahyu (tak ada sikap antagonis berlebihan seperti sinetron2 remaja pada umumnya -- huh bete ngeliat yg begituan). Tidak ada lagi sikap antipati ayah Indah (diperankan Tarzan) terhadap Wahyu. Semuanya mendukung Wahyu dan berangkat ke stadion menonton Wahyu bertanding bersama Persema....
Berikut bonus thriler Film Tendangan Dari Langit:
THRILER 1 | THRILER 2 |
Sumber foto: Sinemart