loading...

Batas Kritik dan Menghina (Hate Speech) Beda Tipis

Artikel Terbaru:
loading...
Pelajaran Bahasa Indonesia di Jari Kamu berbagi info Batas Kritik dan Menghina (Hate Speech) Beda Tipis--
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bambang Eka Cahya Widodo, menduga ada tujuan dan kepentingan tertentu dari terbitnya surat edaran Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech) yang ditujukan untuk internal Polri.

Surat Edaran Nomor SE/6/X/2015 tentang Hate Speech sudah diteken Kapolri dan dikirim ke seluruh polda, polres, hingga polsek di Tanah Air. Tujuannya, polisi dapat mengetahui bentuk ujaran kebencian serta tindakan yang segera diambil.
"Surat edaran yang dikeluarkan Kapolri ini pasti ada tujuannya dan kepentingan. Tapi, saya melihat SE itu masih belum cukup jelas," kata Bambang, belum lama ini.

Kapolri mungkin punya kepentingan, misalnya ingin mengurangi risiko konflik di masyarakat. Apalagi, konflik yang terjadi muncul dari hal kecil, karena tidak diselesaikan.

Bambang pun memberi contoh riil, Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya pendukung fanatik. Para pendukung ini bisa marah besar karena yang didukung dicaci maki dengan cara tidak terhormat.
"Itu yang bisa menimbulkan gesekan di masyarakat kita," kata mantan ketua Bawaslu periode 2008–2011 ini.

Di sisi lain, kata Bambang, Kapolri perlu menyadari bahwa kerangka hukum dan perundang-undangan tidak sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap objek dari hate speech.
"Hate speech ini bukan untuk figur presiden saja, tetapi semua kalangan," katanya.

Saat ini, kata dia, masyarakat sudah kebablasan dalam memaknai freedom speech (kebebasan berpendapat) yang akhirnya mengurangi kenyamanan dalam berdemokrasi.
"Kita belum punya kerangka hukum yang baik. Sudah ada akomodasi freedom speech namun belum ada batasan yang disesuaikan," katanya.

Sebagai negara demokrasi, kata Bambang, masyarakat punya hak untuk mengkritisi kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
"Pemerintah itu harus dikritik karena presiden itu bukan dewa atau nabi. Tapi, terkadang kita tidak bisa membedakan antara kritik dan hate speech (mengina)," jelasnya.

Masyarakat terkadang berlebihan dalam mengungkapkan kritik, kemudian lebih mengarah pada menyudutkan pribadi seseorang bukan kebijakannya.
"Tapi jika kita ingin mengkritik kebijakannya, silakan," terangnya.

Lagipula, lanjutnya, Indonesia juga tidak memiliki tolok ukur untuk mengungkapkan kritik dengan baik, sehingga seringkali terpeleset menjadi hate speech.
"Kalau sudah menyerang harga diri, kehormatan, dan keluarga itu sudah masuk dalam ketegori hate speech," katanya.

Hal yang menjadi persoalan, kata Bambang, belum ada batasan yang jelas. Kapan presiden dikritik sebagai kepala negara, sebagai Jokowi, dan sebagainya, itu perlu diperbaiki bersama.

Terkait hate speech yang berlaku untuk pengguna media sosial, jelas Bambang, bisa menjadi proses pendewasaan seseorang. Sebab, masih banyak orang menganggap bahwa media sosial itu sarana pribadi.
Media sosial, kata dia, punya audiens yang mungkin saja merasa tersakiti dengan pernyataan yang disampaikan lewat media sosial.
"Kalau boleh jujur, masyarakat kita masih gagap budaya. Di satu sisi kita sangat modern menggunakan media sosial, tapi di sisi lain kita masih tradisional dalam penggunaannya, karena kita masih menganggap bahwa media sosial ini media curhat," katanya.

Begitu punya teman dan followers, artinya dia memiliki audiens. Dalam hal ini seharusnya ada keterlibatan dari UU TI. Sebetulnya, masyarakat kita masih mencari pola dan mencari bentuk. Jadi, sebenarnya kebebasan berpendapat ini tidak dibatasi sepanjang tidak menyakiti orang lain.
"Pertanyaannya akan lain lagi ketika orang merasa tersakiti oleh pendapat kita. Dan, sebetulnya yang menentukan apakah seseorang itu merasa tersakiti dengan pendapat kita, bukan kita tapi mereka sendiri. Jadi, hal ini juga perlu ditindaklanjuti kembali," urainya.

Sebetulnya, menurut Bambang, pemerintah juga sudah menyediakan wadah atau tempat bagi siapa saja yang ingin mengkritik kebijakan pemerintah.
Pertama, kata Bambang, memberikan petisi. Saat ini sudah banyak, misalnya pada thechange.org. Dari situ bisa berpendapat panjang lebar untuk mendapatkan dukungan, ini merupakan cara yang masih terhormat.
Kedua, bisa mengirimkan surat ke parpol, DPR, atau presiden tentang persoalan. Pengirim surat juga harus jelas dan lengkap agar tidak dikira surat kaleng.

Cara lain dengan melakukan demonstrasi. Menulis artikel di media juga menjadi cara untuk mengkritik kebijakan.
"Permasalahnnya, batas kritik dan menghina itu beda tipis, jadi perlu hati-hati," tegasnya.

Sumber: Okezone

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...