loading...

Tentang Sastra (Lagi), Karakter, dan Kasih Sayang yang Hilang dalam BALADA IBU YANG DIBUNUH

Artikel Terbaru:
loading...
Sastra memperhalus rasa.....
Pembelajaran apresiasi sastra merupakan salah satu cara penanaman karakter atau nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, kesetiaan, pengabdian, keadilan, kasih sayang, dan kepedulian, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Karya sastra dapat berupa puisi, cerita pendek, novel, maupun drama.

Fungsi utama sastra yaitu memperhalus akal budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan peduli sosial, cinta budaya, pembangkit imajinasi, serta penumbuh kembang ekspresi jiwa dan pikiran.

Simaklah puisi berikut:

Balada Ibu yang Dibunuh (Karya W.S. Rendra)

Ibu musang dilindung pohon tua meliang
bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bulan sabit terkait malam memberita datangnya
waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.

Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan
harian atas nyawa.

Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.

Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
oleh lengking pekik yang lebih menggigilkan
pucuk-pucuk daun
tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.

Tiada pulang ia yang meski rampas rejeki hariannya
ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur
pula dedaun tua.

Tiada tahu akan merataplah kolik meratap juga
dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin
Tenggara.

Lalu satu ketika di pohon tua meliang
matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.

Dan jalannya semua peristiwa
tanpa dukungan satu dosa. Tanpa.


Puisi di atas merupakan contoh puisi yang mampu merefleksikan karakter kasih sayang adalah sebuah keniscayaan. Sebagai makna denotatif, kesewenang-wenangan warga desa membunuh musang yang meresahkan mereka berakibat matinya anak-anak musang yang masih kecil. Sebagai makna konotatif, ‘musang’ (refresentasi seorang pencuri) dibunuh/dihakimi oleh massa tanpa belas kasihan telah secara tidak langsung membunuh pula keluarganya yang lain: anak dan istrinya, yang butuh nafkah dari kepala keluarga.

Puisi ini mengajarkan kita, untuk bersikap kasih sayang dan saling menyayangi betapapun sakitnya hati kita. Tak perlu ada balas dendam karena balas dendam dapat menciptakan titik hitam baru dalam jiwa manusia, jiwa kita (Masih segar dalam ingatan, bagaimana semena-menanya tentara pemberontak Lib** yang menyeret, memukul, menginjak-injak, dan melakukan pelecehan seksual terhadap Muammar Khadafi yang sudah tak berdaya).

Manusia yang memiliki rasa kasih sayang, tidak akan melakukan hal sebagaimana yang dilukiskan W.S.Rendra dalam puisi di atas. Sebagai sesama makhluk hidup, musang ataupun pencuri memiliki hak untuk hidup dan mencari makan. Kemarahan membangkitkan sumpah-serapah dan balas dendam, sangatlah manusiawi. Tapi, kemarahan dan balas dendam justru menunjukkan betapa kita adalah pribadi yang tak mau mencoba memahami mengapa orang sampai mau mengambil barang orang lain, tak dapat meredam gejolak emosi dalam diri, dan tak mampu memaafkan. Secara tak sadar, sumpah-serapah kita telah membuat kita menjadi penyumpah, balas dendam yang kita lakukan menjadikan kita seorang pendendam, dan dengan membunuh itu telah membuat kita menjadi seorang pembunuh.

Jadi, lebih baik memiliki rasa kasih sayang daripada membenci, menyumpah, apalagi membalas dendam dengan cara yang keji.

Sudahkah kalian membaca sastra hari ini?


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...