Artikel Terbaru: |
loading...
Kali ini kita akan membahas perbedaan kata-kata bernilai rasa halus dan bernilai rasa kasar. Untuk memahami kata-kata bernilai rasa halus dan bernilai rasa kasar, perhatikan contoh kalimat berikut:
a. (1) Istri pejabat itu mengelola yayasan yatim piatu.
(2) Bini pejabat itu mengelola yayasan yatim piatu.
b. (1) Kesehatan ibu dan anak harus diperhaikan sejak ibu hamil.
(2) Kesehaatan ibu dan anak harus diperhatikan sejak ibu bunting.
Kata "istri" dan "bini" pada kalimat pertama mempunyai makna yang sama, tetapi kata "istri" mempunyai nilai rasa lebih halus/baik dari pada kata "bini".
Demikian pula kata "hamil" dan "bunting" pada kalimat b. Kata "hamil" mempunyai nilai rasa lebih halus dari pada kata "bunting".
Perhatikan pasangan kata berikut:
Bernilai rasa halus >< Bernilai rasa kasar 1. Tuna karya >< pengangguran 2. Tuna wisma >< gelandangan 3. Kurang pandai >< bodoh 4. Pramuwisma >< pembantu rumah tangga 5. Pramuniaga >< pelayan toko 6. Meninggal/ wafat >< mati
Untuk mengetahui makna kata-kata tersebut bernilai rasa halus atu bernilai rasa kasar, apabila kata-kata itu diterapkan dalam kalimat atau konteks tertentu.
Kita dapat mencoba menerapkan kata-kata tersebut dalam kalimat, sehingga tepat artinya. Untuk mendalami penggunaan kata-kata yang bernilai rasa halus dan bernilai rasa kasar, coba kamu perhatikan teks dialog di bawah ini.
Ali : "Assalamualaikum . . . !"
Pak Budi : (dari dalam) "Waalaikum salam... !" Wah, ada tamu. Silakan masuk!"
Ali : "Terima kasih, Pak."
Pak Budi : "Anak mau berjumpa dengan siapa?"
Ali : "Dengan Bapak."
Pak Budi : "Kau ini dari mana? Rupanya dari tempat jauh".
Ali : "Benar, Pak dari Kota."
Pak Budi : "Dugaan Bapak tidak salah. Dengan melihat pakaian dan lagaknya anak orang kota."
Ali : (ragu-ragu). "Eeem... anu, Pak. Barangkali kamu kehilangan surat keterangan ini?"
Pak Budi : (kaget). "Benar, Nak. Dua hari yang lalu hilang ketika Bapak berbelanja ke kota. Dari mana kamu temukan, Nak?"
Ali : (gugup). "Di... jalan, Pak. Saya pikir lebih baik sayalah yang menyerahkan surat keterangan ini sambil bersilahturahmi. Bukankah Bui nama Bapak?"
Pak Budi : "Benar, benar, Nak. Nama Bapak, Budi."(gembira)
Ali : "Masih mengajar, Pak?"
Pak Budi : "Masih, Nak. Anak ini siapa?"
Ali : "Bapak pasti lupa lagi. Saya murid Bapak ketika di SD Kasih Ibu."
Pak Budi : "Oh, iya. Siapa ya?"
Ali : "Ali, Pak...!"
Dialog diatas percakapan antara seorang murid dengan mantan gurunya dengan penuh akrab dan hormat. Oleh karena itu, situasi dan pilihan katanya juga menunjukkan nilai rasa halus. Akan tetapi, dalam dialog tersebut terdapat dua kata yang tidak tepat nilai rasanya yaaitu kata "kau" pada baris ke-6 dan kata "kamu" pada baris ke-9. Agar sesuai dengan konteksnya kata "kau" seharurnyu diganti dengan "Anak" dan kata "kamu" diganti dengan kata "Bapak", sehingga kata "Anak" dan "Bapak" mempunyai nilai rasa lebih halus.
,.Bapak" mempunyai nilai rasa lebih halus.
a. (1) Istri pejabat itu mengelola yayasan yatim piatu.
(2) Bini pejabat itu mengelola yayasan yatim piatu.
b. (1) Kesehatan ibu dan anak harus diperhaikan sejak ibu hamil.
(2) Kesehaatan ibu dan anak harus diperhatikan sejak ibu bunting.
Kata "istri" dan "bini" pada kalimat pertama mempunyai makna yang sama, tetapi kata "istri" mempunyai nilai rasa lebih halus/baik dari pada kata "bini".
Demikian pula kata "hamil" dan "bunting" pada kalimat b. Kata "hamil" mempunyai nilai rasa lebih halus dari pada kata "bunting".
Perhatikan pasangan kata berikut:
Bernilai rasa halus >< Bernilai rasa kasar 1. Tuna karya >< pengangguran 2. Tuna wisma >< gelandangan 3. Kurang pandai >< bodoh 4. Pramuwisma >< pembantu rumah tangga 5. Pramuniaga >< pelayan toko 6. Meninggal/ wafat >< mati
Untuk mengetahui makna kata-kata tersebut bernilai rasa halus atu bernilai rasa kasar, apabila kata-kata itu diterapkan dalam kalimat atau konteks tertentu.
Kita dapat mencoba menerapkan kata-kata tersebut dalam kalimat, sehingga tepat artinya. Untuk mendalami penggunaan kata-kata yang bernilai rasa halus dan bernilai rasa kasar, coba kamu perhatikan teks dialog di bawah ini.
Ali : "Assalamualaikum . . . !"
Pak Budi : (dari dalam) "Waalaikum salam... !" Wah, ada tamu. Silakan masuk!"
Ali : "Terima kasih, Pak."
Pak Budi : "Anak mau berjumpa dengan siapa?"
Ali : "Dengan Bapak."
Pak Budi : "Kau ini dari mana? Rupanya dari tempat jauh".
Ali : "Benar, Pak dari Kota."
Pak Budi : "Dugaan Bapak tidak salah. Dengan melihat pakaian dan lagaknya anak orang kota."
Ali : (ragu-ragu). "Eeem... anu, Pak. Barangkali kamu kehilangan surat keterangan ini?"
Pak Budi : (kaget). "Benar, Nak. Dua hari yang lalu hilang ketika Bapak berbelanja ke kota. Dari mana kamu temukan, Nak?"
Ali : (gugup). "Di... jalan, Pak. Saya pikir lebih baik sayalah yang menyerahkan surat keterangan ini sambil bersilahturahmi. Bukankah Bui nama Bapak?"
Pak Budi : "Benar, benar, Nak. Nama Bapak, Budi."(gembira)
Ali : "Masih mengajar, Pak?"
Pak Budi : "Masih, Nak. Anak ini siapa?"
Ali : "Bapak pasti lupa lagi. Saya murid Bapak ketika di SD Kasih Ibu."
Pak Budi : "Oh, iya. Siapa ya?"
Ali : "Ali, Pak...!"
Dialog diatas percakapan antara seorang murid dengan mantan gurunya dengan penuh akrab dan hormat. Oleh karena itu, situasi dan pilihan katanya juga menunjukkan nilai rasa halus. Akan tetapi, dalam dialog tersebut terdapat dua kata yang tidak tepat nilai rasanya yaaitu kata "kau" pada baris ke-6 dan kata "kamu" pada baris ke-9. Agar sesuai dengan konteksnya kata "kau" seharurnyu diganti dengan "Anak" dan kata "kamu" diganti dengan kata "Bapak", sehingga kata "Anak" dan "Bapak" mempunyai nilai rasa lebih halus.
,.Bapak" mempunyai nilai rasa lebih halus.