Artikel Terbaru: |
loading...
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy merasa nomenklatur mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak perlu diganti menjadi kesusastraan.
Pergantian nomenklatur itu sebelumnya diusulkan sastrawan Ahmad Tohari saat para budayawan, sastrawan dan lainnya bertemu Presiden Joko Widodo, Selasa (23/8/2016).
"Saya rasa tidak harus begitu," ujar Muhadjir saat ditemui wartawan di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Muhadjir menangkap dengan jelas maksud usulan sastrawan Ahmad Tohari itu. Dia berpendapat, yang penting adalah konten mata pelajaran Bahasa Indonesianya, bukan nomenklaturnya.
Dia setuju jika di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, konten mengenai kesusastraan diperkuat agar peserta didik tidak hanya pandai berbahasa Indonesia, melainkan juga memiliki karakter bahasa yang erat dengan kebudayaan.
"Yang penting kontennya, kandungannya. Kemasannya boleh apa saja, yang penting kan isinya. Mata pelajaran Bahasa Indonesia itu otomatis di dalamnya ada kesusastraan, termasuk tata bahasa, kemudian kosa kata, itu kan menyatu," ujar dia.
Melalui kurikulum 13 yang akan diberlakukan Kemendikbud bagi seluruh sekolah di tanah air, Muhadjir yakin peserta didik akan mendapatkan konten kesusastraan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya.
"Nanti kita menggunakan pendekatan baru, kurikulum 13 itu kan lebih mengutamakan siswa aktif. Anak dilatih berekspresi, bikin puisi sendiri, diajak berimajinasi, jadi lebih didorong anak itu bersastra," ujar Muhadjir.
Sastrawan Ahmad Tohari sebelumnya memberikan masukan yang spesifik kepada Presiden. Pria yang terkenal melalui triloginya pada era '80-an itu meminta pemerintah mendorong peserta didik mengonsumsi buku-buku kesusastraan.
"Indonesia sekarang ini sedang krisis kesusastraan. Pengadaan buku sastra rendah, minat baca juga rendah, daya serap masyarakat terhadap sastra juga rendah. Jadi saya kira negara harus hadir mengatasi masalah ini," ujar Tohari.
Secara lugas, Tohari meminta pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memborong buku sastra di pasaran untuk dibagikan kepada peserta didik.
Bahkan, Tohari juga meminta mata pelajaran Bahasa Indonesia diubah nomenklaturnya menjadi mata pelajaran Kesusastraan.
"Jadi pelajaran Bahasa Indonesia itu harusnya nempel ke pelajaran Kesusastraan. Sastralah yang menjadi jalur utama sebab sastra inilah yang membangun karakter," ujar Tohari.
Sumber: kompas.com
Pergantian nomenklatur itu sebelumnya diusulkan sastrawan Ahmad Tohari saat para budayawan, sastrawan dan lainnya bertemu Presiden Joko Widodo, Selasa (23/8/2016).
"Saya rasa tidak harus begitu," ujar Muhadjir saat ditemui wartawan di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Muhadjir menangkap dengan jelas maksud usulan sastrawan Ahmad Tohari itu. Dia berpendapat, yang penting adalah konten mata pelajaran Bahasa Indonesianya, bukan nomenklaturnya.
Dia setuju jika di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, konten mengenai kesusastraan diperkuat agar peserta didik tidak hanya pandai berbahasa Indonesia, melainkan juga memiliki karakter bahasa yang erat dengan kebudayaan.
"Yang penting kontennya, kandungannya. Kemasannya boleh apa saja, yang penting kan isinya. Mata pelajaran Bahasa Indonesia itu otomatis di dalamnya ada kesusastraan, termasuk tata bahasa, kemudian kosa kata, itu kan menyatu," ujar dia.
Melalui kurikulum 13 yang akan diberlakukan Kemendikbud bagi seluruh sekolah di tanah air, Muhadjir yakin peserta didik akan mendapatkan konten kesusastraan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya.
"Nanti kita menggunakan pendekatan baru, kurikulum 13 itu kan lebih mengutamakan siswa aktif. Anak dilatih berekspresi, bikin puisi sendiri, diajak berimajinasi, jadi lebih didorong anak itu bersastra," ujar Muhadjir.
Sastrawan Ahmad Tohari sebelumnya memberikan masukan yang spesifik kepada Presiden. Pria yang terkenal melalui triloginya pada era '80-an itu meminta pemerintah mendorong peserta didik mengonsumsi buku-buku kesusastraan.
"Indonesia sekarang ini sedang krisis kesusastraan. Pengadaan buku sastra rendah, minat baca juga rendah, daya serap masyarakat terhadap sastra juga rendah. Jadi saya kira negara harus hadir mengatasi masalah ini," ujar Tohari.
Secara lugas, Tohari meminta pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memborong buku sastra di pasaran untuk dibagikan kepada peserta didik.
Bahkan, Tohari juga meminta mata pelajaran Bahasa Indonesia diubah nomenklaturnya menjadi mata pelajaran Kesusastraan.
"Jadi pelajaran Bahasa Indonesia itu harusnya nempel ke pelajaran Kesusastraan. Sastralah yang menjadi jalur utama sebab sastra inilah yang membangun karakter," ujar Tohari.
Sumber: kompas.com