Artikel Terbaru: |
loading...
Contoh Resensi Fiksi-- Resensi buku fiksi meliputi novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan sebagainya. Bacalah resensi novel berikut ini!
“Dari Lembah Ke Coolibah” Potret Perempuan Titis Basino
Judul : Dari Lembah Ke Coolibah
Penulis : Titis Basino PI
Tebal : 150 halaman
Cover : Ipe Ma’ruf
Penerbit : Grasindo, Agustus 1997
Apakah artinya sebuah novel bagi seorang sastrawan? Tentu banyak persepsi dan argumentasi rasional mengenai hal ini. Pun sangat tergantung pula pada personal experience masing-masing penulis ataupun si sastrawan itu sendiri. Jika seseorang – katakanlah – Pramudya Ananta Toer menggelindingkan karya-karya roman Pulau Buru-nya dengan titik pijak ingin memaparkan ‘gambaran sejarah feodalisme’ bangsa ini (agar diketahui oleh orang banyak), tentulah sangat berbeda dengan Budi Darma yang bersikutat dengan persoalan psikis para tokoh novel-novelnya.
Memang, banyak segi arti muatan novel bagi para pengarangnya. Tergantung hasrat dan pesan apa yang ingin mereka sampaikan kepada khalayak pembaca. Demikian pula halnya Titis Basino, salah seorang sastrawan wanita Indonesia yang pada pertengahan Agustus 1997 lalu – menggulirkan sebuah novel terbarunya,Dari Lembah ke Coolibah di pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta. Paling tidak, ada berbagai sudut pandangnya sendiri mengenai pelbagai persoalan sosial, masalah hati dan perasaan yang bernama cinta. Sebab, siapakah yang tak pernah kesandung cinta? Seperti juga judulnya Dari Lembah ke Coolibah, Titis Basino pun bercerita mengenai cinta. Tersebutlah seorang wanita yang pergi menunaikan ibadah haji ke tanah suci, namun ‘akhirnya’ dia jatuh cinta kepada pembimbingnya sendiri. Dan peristiwa cinta itu terus berlanjut dan berkembang hingga kepulangan mereka ke tanah air. Sementara, sang pembimbing sudah beristri, tapi lagi-lagi kekuatan cinta – demikian setidaknya anggapan penulis – memang luar biasa. Tak pandang usia, waktu, dan tempat, terkadang memang bukan sesuatu yang normatif. Dan Titis memahami ihwal itu.
Lalu, di dalamnya tak cuma melulu kisah kasih, melainkan juga ada aspek sosial: bahwa cinta sama dengan korupsi, ‘penyakit’ ini ada di mana-mana, termasuk juga pada penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan, sang pembimbing yang dikagumi sang tokoh si aku dalam novel ini berujar: “Saat ini kita sedang dilanda korup, ya korup yang sudah memborok di masyarakat kita sampai kita tidak merasa bahwa orang yang korupsi itu satu kesalahan dan malah satu dosa juga. Orang mulai lupa kalau dia manusia bebas, mereka menyembah-nyembah atasan seperti zaman dulu orang menyembah berhala ... .”
Memang, mencermati novel Dari Lembah ke Coolibah, secara gamblang kita memang bagaikan menyaksikan potret dunia perempuan yang ditulis oleh perempuan. Digarap secara sederhana – namun intens – dengan penuturan bahasa yang segar, kadang sedikit lugu, namun pada gilirannya kemudian menyuguhkan pada kita ihwal ‘persoalan manusiawi’ yang bisa melekat pada siapa saja, kapan saja, dan dalam peristiwa apa saja – termasuk juga pada saat menunaikan ibadah haji. Inilah aspek ‘pendekatan kontekstual’ dari novel terbaru Titis Basino ini. Untuk itulah, pada gilirannya novel ini jadi cukup menarik untuk dibaca sebab di dalamnya memang terdapat hal ihwal yang mudah dipahami oleh seorang awam sekali pun. Maka, sisi lain yang tersirat adalah: jika sebuah karya sastra tak ingin terasing di tengah masyarakat banyak, tampaknya memang harus ada yang berjejak dan ‘bunyi’ prihal pelbagai persoalan yang mereka pahami. Dan seorang Titis pun tampaknya berupaya untuk itu.
Sebagai penulis, Titis Basino memang bukan orang baru. Namun, seperti yang dia bilang, setelah 10 tahun absen di dunia kesusastraan, akhirnya dia muncul kembali dengan sebuah sumbangan novelnya, Dari Lembah ke Coolibah, seperti yang diakuinya merupakan hasil renungan yang panjang yang ingin dia ungkapkan dengan cara yang wajar dan jujur.
Lahir di Magelang, 17 Januari 1939, Titis Basino yang mantan pramugari, pada tahun 80-an dikenal sangat produktif menulis, baik cerpen maupun novel. Sarjana muda sastra UI ini pernah meraih hadiah hiburan majalah Sastra (1963), beberapa novelnya yang pernah terbit adalah Pelabuhan Hati (1978), Di Bumi Aku Bersuara di Langit Aku Bertemu (1983) dan Bukan Rumahku (1986). Dan kini, sosok dia pun ‘terbit’ kembali ke kancah tulis menulis. Walhasil di antara sedikit sastrawan wanita baik kualitas dan kuantitas banyak yang diharapkan dari seorang Titis Basino.
(Lazuardi Adi Sage)
“Dari Lembah Ke Coolibah” Potret Perempuan Titis Basino
Judul : Dari Lembah Ke Coolibah
Penulis : Titis Basino PI
Tebal : 150 halaman
Cover : Ipe Ma’ruf
Penerbit : Grasindo, Agustus 1997
Apakah artinya sebuah novel bagi seorang sastrawan? Tentu banyak persepsi dan argumentasi rasional mengenai hal ini. Pun sangat tergantung pula pada personal experience masing-masing penulis ataupun si sastrawan itu sendiri. Jika seseorang – katakanlah – Pramudya Ananta Toer menggelindingkan karya-karya roman Pulau Buru-nya dengan titik pijak ingin memaparkan ‘gambaran sejarah feodalisme’ bangsa ini (agar diketahui oleh orang banyak), tentulah sangat berbeda dengan Budi Darma yang bersikutat dengan persoalan psikis para tokoh novel-novelnya.
Memang, banyak segi arti muatan novel bagi para pengarangnya. Tergantung hasrat dan pesan apa yang ingin mereka sampaikan kepada khalayak pembaca. Demikian pula halnya Titis Basino, salah seorang sastrawan wanita Indonesia yang pada pertengahan Agustus 1997 lalu – menggulirkan sebuah novel terbarunya,Dari Lembah ke Coolibah di pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta. Paling tidak, ada berbagai sudut pandangnya sendiri mengenai pelbagai persoalan sosial, masalah hati dan perasaan yang bernama cinta. Sebab, siapakah yang tak pernah kesandung cinta? Seperti juga judulnya Dari Lembah ke Coolibah, Titis Basino pun bercerita mengenai cinta. Tersebutlah seorang wanita yang pergi menunaikan ibadah haji ke tanah suci, namun ‘akhirnya’ dia jatuh cinta kepada pembimbingnya sendiri. Dan peristiwa cinta itu terus berlanjut dan berkembang hingga kepulangan mereka ke tanah air. Sementara, sang pembimbing sudah beristri, tapi lagi-lagi kekuatan cinta – demikian setidaknya anggapan penulis – memang luar biasa. Tak pandang usia, waktu, dan tempat, terkadang memang bukan sesuatu yang normatif. Dan Titis memahami ihwal itu.
Lalu, di dalamnya tak cuma melulu kisah kasih, melainkan juga ada aspek sosial: bahwa cinta sama dengan korupsi, ‘penyakit’ ini ada di mana-mana, termasuk juga pada penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan, sang pembimbing yang dikagumi sang tokoh si aku dalam novel ini berujar: “Saat ini kita sedang dilanda korup, ya korup yang sudah memborok di masyarakat kita sampai kita tidak merasa bahwa orang yang korupsi itu satu kesalahan dan malah satu dosa juga. Orang mulai lupa kalau dia manusia bebas, mereka menyembah-nyembah atasan seperti zaman dulu orang menyembah berhala ... .”
Memang, mencermati novel Dari Lembah ke Coolibah, secara gamblang kita memang bagaikan menyaksikan potret dunia perempuan yang ditulis oleh perempuan. Digarap secara sederhana – namun intens – dengan penuturan bahasa yang segar, kadang sedikit lugu, namun pada gilirannya kemudian menyuguhkan pada kita ihwal ‘persoalan manusiawi’ yang bisa melekat pada siapa saja, kapan saja, dan dalam peristiwa apa saja – termasuk juga pada saat menunaikan ibadah haji. Inilah aspek ‘pendekatan kontekstual’ dari novel terbaru Titis Basino ini. Untuk itulah, pada gilirannya novel ini jadi cukup menarik untuk dibaca sebab di dalamnya memang terdapat hal ihwal yang mudah dipahami oleh seorang awam sekali pun. Maka, sisi lain yang tersirat adalah: jika sebuah karya sastra tak ingin terasing di tengah masyarakat banyak, tampaknya memang harus ada yang berjejak dan ‘bunyi’ prihal pelbagai persoalan yang mereka pahami. Dan seorang Titis pun tampaknya berupaya untuk itu.
Sebagai penulis, Titis Basino memang bukan orang baru. Namun, seperti yang dia bilang, setelah 10 tahun absen di dunia kesusastraan, akhirnya dia muncul kembali dengan sebuah sumbangan novelnya, Dari Lembah ke Coolibah, seperti yang diakuinya merupakan hasil renungan yang panjang yang ingin dia ungkapkan dengan cara yang wajar dan jujur.
Lahir di Magelang, 17 Januari 1939, Titis Basino yang mantan pramugari, pada tahun 80-an dikenal sangat produktif menulis, baik cerpen maupun novel. Sarjana muda sastra UI ini pernah meraih hadiah hiburan majalah Sastra (1963), beberapa novelnya yang pernah terbit adalah Pelabuhan Hati (1978), Di Bumi Aku Bersuara di Langit Aku Bertemu (1983) dan Bukan Rumahku (1986). Dan kini, sosok dia pun ‘terbit’ kembali ke kancah tulis menulis. Walhasil di antara sedikit sastrawan wanita baik kualitas dan kuantitas banyak yang diharapkan dari seorang Titis Basino.
(Lazuardi Adi Sage)