Artikel Terbaru: |
loading...
Siswi Hamil Dilarang Ikut UN?-- TRIBUNNEWS.COM - Jelang pelaksanaan ujian nasional (UN) siswa SMP dan SMA pertengahan April ini, satuan pendidikan kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial. Di antaranya, kebijakan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Harun melarang siswi hamil mengikuti UN. Seperti dilansir Tribun Pontianak edisi Jumat (6/4/2012), Harun menganggap siswi yang hamil merupakan kegagalan pendidikan.
Supremasi pendidikan berkarakter norma sosial yang merujuk amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasinal, dinilai rusak. Obsesi Harun mencetak siswa-siswi cerdas dan bermoral mulia, patut diapresiasi tinggi. Namun, tidak demikian kebijakannya melarang siswi hamil mengikuti UN.Salah seorang pembaca Tribun bernomor telepon seluler 081352092xxx menanggapinya dengan mengirim pesan SMS. Larangan itu dianggap melanggar Mukadimah UUD 1945 dan melawan hak asasi manusia (HAM).
Kebijakan kontroversial ini dianggap melukai perasaan orang yang mendapat musibah, karena memberi stigma negatif dan sanksi berat karena tak diperbolehkan ikut UN.
Prinsipnya, pendidikan itu esensi pemberadaban. Aktivitas belajar tak boleh terhenti kapan pun, dan di mana pun. Apalagi jenjang SMP masuk klasifikasi basic education, pendidikan dasar sembilan tahun.
Tahun ini pemerintah bahkan menargetkan pendidikan dasar sampai SMA. Pendidikan dasar sangat strategis dalam masa anak mulai membangun fisik, psikis dan karakter. Itu sebabnya, UUD 1945 mengamanatkan tiap anak bangsa, wajib memperoleh pendidikan.
Amanat Pasal 31 UUD 1945 tegas dan jelas, dan UU Sisdiknas pun melegalisasi dalam hukum nasional. Tak seayat pun dalam UU mengatur dan melarang siswi hamil mengikuti UN. Andai ke depan direvisi dan dibuat larangan siswi hamil ikut UN, jelas bertentangan konstitusi negara. Pendidikan fundamental right, hak dasar semua anak, bahkan in all situations atau untuk segala situasi.
Membatasi siswi hamil ikut UN, tak ubahnya merampas HAM anak peroleh pendidikan yang dijamin UUD 1945. Pendidikan menjadi fondasi pembelajaran seumur hidup dan pembangunan manusia. Begitu urgen dan pentingnya pendidikan warga negara, negara meratifikasi ketentuan Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948.
PBB menggariskan hak anak dalam Konvensi Hak-hak Anak. Intinya, tiap orang memiliki hak pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya di tingkat pendidikan dasar. Begitu elementernya, pendidikan diwajibkan.
Kita berharap di Kalbar tak ada larangan ala kebijakan Kadisdik Jawa Timur. Selain mencerabut HAM anak dan melanggar konstitusi, kebijakan itu berpotensi meningkatkan ketuna-pendidikan anak perempuan. Hingga kini anak-anak perempuan di dunia rentan mengalami diskriminasi di bidang pendidikan. Berdasarkan perkiraan PBB, 2/3 anak perempuan dari 100 juta anak di dunia tak memperoleh pendidikan dasar.
Penyebabnya, mulai aral adat, anak dipekerjakan sebagai buruh, perkawinan dini, hingga ketiadaan uang dan fasilitas untuk sekolah. Pemenuhan pendidikan anak setara, adalah realisasi prinsip konvensi internasional. Di negara kita telah diimplementasikan dalam UU Sisdiknas.
Larangan siswi hamil mengikuti UN hanya menunjukkan arogansi, jika tidak dilatari kemunafikan di balik usaha mencerdaskan anak bangsa secara lahir dan batin. Ironis, Badan Standar Nasional Pendidikan dan Kemendiknas tak mengatur dan tak membuat larangan. Sejatinya, kalau ada siswi hamil, siapa yang salah? Selain lingkungan rumah, sekolah lazimnya bertanggungjawab.
Sudah bermoral kah metode belajar-mengajar sekolah? Atau justru sekolah dan Disdik turut memberi kontribusi, sehingga siswi tak punya kecerdasan memahami norma kesusilaan.
Image: Tribunnews.com
Supremasi pendidikan berkarakter norma sosial yang merujuk amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasinal, dinilai rusak. Obsesi Harun mencetak siswa-siswi cerdas dan bermoral mulia, patut diapresiasi tinggi. Namun, tidak demikian kebijakannya melarang siswi hamil mengikuti UN.Salah seorang pembaca Tribun bernomor telepon seluler 081352092xxx menanggapinya dengan mengirim pesan SMS. Larangan itu dianggap melanggar Mukadimah UUD 1945 dan melawan hak asasi manusia (HAM).
Kebijakan kontroversial ini dianggap melukai perasaan orang yang mendapat musibah, karena memberi stigma negatif dan sanksi berat karena tak diperbolehkan ikut UN.
Prinsipnya, pendidikan itu esensi pemberadaban. Aktivitas belajar tak boleh terhenti kapan pun, dan di mana pun. Apalagi jenjang SMP masuk klasifikasi basic education, pendidikan dasar sembilan tahun.
Tahun ini pemerintah bahkan menargetkan pendidikan dasar sampai SMA. Pendidikan dasar sangat strategis dalam masa anak mulai membangun fisik, psikis dan karakter. Itu sebabnya, UUD 1945 mengamanatkan tiap anak bangsa, wajib memperoleh pendidikan.
Amanat Pasal 31 UUD 1945 tegas dan jelas, dan UU Sisdiknas pun melegalisasi dalam hukum nasional. Tak seayat pun dalam UU mengatur dan melarang siswi hamil mengikuti UN. Andai ke depan direvisi dan dibuat larangan siswi hamil ikut UN, jelas bertentangan konstitusi negara. Pendidikan fundamental right, hak dasar semua anak, bahkan in all situations atau untuk segala situasi.
Membatasi siswi hamil ikut UN, tak ubahnya merampas HAM anak peroleh pendidikan yang dijamin UUD 1945. Pendidikan menjadi fondasi pembelajaran seumur hidup dan pembangunan manusia. Begitu urgen dan pentingnya pendidikan warga negara, negara meratifikasi ketentuan Universal Declaration on Human Rights (UDHR) tahun 1948.
PBB menggariskan hak anak dalam Konvensi Hak-hak Anak. Intinya, tiap orang memiliki hak pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya di tingkat pendidikan dasar. Begitu elementernya, pendidikan diwajibkan.
Kita berharap di Kalbar tak ada larangan ala kebijakan Kadisdik Jawa Timur. Selain mencerabut HAM anak dan melanggar konstitusi, kebijakan itu berpotensi meningkatkan ketuna-pendidikan anak perempuan. Hingga kini anak-anak perempuan di dunia rentan mengalami diskriminasi di bidang pendidikan. Berdasarkan perkiraan PBB, 2/3 anak perempuan dari 100 juta anak di dunia tak memperoleh pendidikan dasar.
Penyebabnya, mulai aral adat, anak dipekerjakan sebagai buruh, perkawinan dini, hingga ketiadaan uang dan fasilitas untuk sekolah. Pemenuhan pendidikan anak setara, adalah realisasi prinsip konvensi internasional. Di negara kita telah diimplementasikan dalam UU Sisdiknas.
Larangan siswi hamil mengikuti UN hanya menunjukkan arogansi, jika tidak dilatari kemunafikan di balik usaha mencerdaskan anak bangsa secara lahir dan batin. Ironis, Badan Standar Nasional Pendidikan dan Kemendiknas tak mengatur dan tak membuat larangan. Sejatinya, kalau ada siswi hamil, siapa yang salah? Selain lingkungan rumah, sekolah lazimnya bertanggungjawab.
Sudah bermoral kah metode belajar-mengajar sekolah? Atau justru sekolah dan Disdik turut memberi kontribusi, sehingga siswi tak punya kecerdasan memahami norma kesusilaan.
Image: Tribunnews.com