Artikel Terbaru: |
loading...
Naskah Drama Perjuangan "Domba-domba Revolusi"--
Domba-Domba Revolusi
Karya B. Soelarto
Di luar kedengaran ledakan peluru. Politikus dan pedagang buru-buru rebah tiarap ke lantai. Petualang bersikap tenang saja juga senyum mencibir melihat kelakuan kedua lelaki yang sama ketakutan tiarap di lantai. Suara ledakan hilang. Petualang buru-buru menggamit kedua orang itu, memberi isyarat agar mereka bangkit. Keduanya sama bangkit dengan wajah masih mengandung rasa cemas. Politikus sambil mengusapi debu pada pakaiannya dengan rasa geram matanya melotot memandang ke arah perempuan, yang dibalas dengan cibiran. Pedagang buru-buru ambil cangkir wedang, terus diminum sisa-sisa isinya sampai tandas.
Politikus : Baik Nona, kali ini kau menang. Tapi tunggu sebentar lagi ya. Kau akan rasakan menghina seorang fungsionaris yang berkuasa besar seperti aku ini. Nona, sekali aku beri instruksi menutup losmen ini, tidak tunggu besok tidak lusa Nona akan kehilangan rumah ini. Dan Nona akan diusir seperti Nona telah mengusir kami.
Perempuan : Oo... Tuan mau tunjukkan taring, ha? Silakan tuan. Dibakar pun rumah milikku ini aku tidak akan mengeluh. Politikus jadi gemetar mulutnya karena dibakar amarahnya. Tapi sebelum ia sempat bicara, si Petualang cepat melerai.
Petualang : Sudahlah, Pak. Sia-sia saja meladeni perempuan macam begitu.
Perempuan: Alangkah hebatnya ucapanmu itu ya Tuan Tabib obat kuat! Apa maksud tuan dengan perkataan "perempuan macam begitu" hah?
Petualang : Nona sudah cukup pengalaman. Sudah bisa menafsirkan sendiri dengan tafsiran yang setepat-tepatnya.
Perempuan: Hah, alangkah sayangnya bahwa tuantuan yang mengaku manusia-manusia terhormat, tidak tahu cara menilai kehormatan diri pribadi.
Politikus : Cukup! Bicara Nona sudah kelewat batas susila!
Perempuan: Alangkah lucunya Tan bersikap "soksusila." Apa Tuan sudah lupa kemarin malam? Tuan berbuat apa, hah? Tuan membujuk aku dengan janji-janji muluk, agar aku menjadikan losmen ini satu perusahaan bordil atasan. Dan agar aku suka jadi selir tuan secara tidak resmi....
Politikus : Itu aku protes! Nona telah dengan cara sengaja menyalahtafsirkan pembicaraanku kemaren malam itu. Nona sekarang mau mengintimidasi aku dengan tujuan pemerasan. Nona mau main intrik ya! Awas, Nona akan kutuntut.
Perempuan : Besok boleh, sekarang boleh juga. Tuan boleh protes seribu kali. Politikus menghantamkan kepalan tangan satu- nya ke atas meja. Sebelum ia sempat menjawab, si Pedagang mendahului.
Pedagang : Ingat Nona! Bapak ini seorang pejabat tinggi yang menguasai seluruh wilayah ini. Bapak ini punya kuasa dan wewenang yang sangat besar. Jangan Nona mengumbar bicara mentang-mentang .....
Perempuan: Mentang-mentang apa? Aku tidak peduli siapa tuan-tuan itu. Di mataku, Tuan-Tuan tidak lebih dari lelaki biasa. Yang sok alim, sok susila. Yang dengan segala akal bulusnya pintar main sandiwara untuk menghormatkan perbuatan isengnya yang sama sekali tidak terhormat!
Pedagang : Suara Nona seperti guntur!
Perempuan: Peduli apa! Ini dalam rumahku sendiri. Sekalipun sekarang ada bom jatuh kemari karena teriakan-teriakanku, aku tidak peduli lagi, pula bukankah tuantuan sendiri yang memulai sengketa ini.
Pedagang : Celaka sudah! Perempuan ini sudah tidak waras.
Perempuan: Pikiran Tuan sendiri bagaimana hah? Waras? Kalau Tuan waras, kenapa malam lusa kemaren Tuan ngluyur coba-coba masuk ke kamarku. Mau apa Tuan kalau begitu?
Sumber: Naskah drama Domba-Domba Revolusi,
1962
Foto: Google
Domba-Domba Revolusi
Karya B. Soelarto
Di luar kedengaran ledakan peluru. Politikus dan pedagang buru-buru rebah tiarap ke lantai. Petualang bersikap tenang saja juga senyum mencibir melihat kelakuan kedua lelaki yang sama ketakutan tiarap di lantai. Suara ledakan hilang. Petualang buru-buru menggamit kedua orang itu, memberi isyarat agar mereka bangkit. Keduanya sama bangkit dengan wajah masih mengandung rasa cemas. Politikus sambil mengusapi debu pada pakaiannya dengan rasa geram matanya melotot memandang ke arah perempuan, yang dibalas dengan cibiran. Pedagang buru-buru ambil cangkir wedang, terus diminum sisa-sisa isinya sampai tandas.
Politikus : Baik Nona, kali ini kau menang. Tapi tunggu sebentar lagi ya. Kau akan rasakan menghina seorang fungsionaris yang berkuasa besar seperti aku ini. Nona, sekali aku beri instruksi menutup losmen ini, tidak tunggu besok tidak lusa Nona akan kehilangan rumah ini. Dan Nona akan diusir seperti Nona telah mengusir kami.
Perempuan : Oo... Tuan mau tunjukkan taring, ha? Silakan tuan. Dibakar pun rumah milikku ini aku tidak akan mengeluh. Politikus jadi gemetar mulutnya karena dibakar amarahnya. Tapi sebelum ia sempat bicara, si Petualang cepat melerai.
Petualang : Sudahlah, Pak. Sia-sia saja meladeni perempuan macam begitu.
Perempuan: Alangkah hebatnya ucapanmu itu ya Tuan Tabib obat kuat! Apa maksud tuan dengan perkataan "perempuan macam begitu" hah?
Petualang : Nona sudah cukup pengalaman. Sudah bisa menafsirkan sendiri dengan tafsiran yang setepat-tepatnya.
Perempuan: Hah, alangkah sayangnya bahwa tuantuan yang mengaku manusia-manusia terhormat, tidak tahu cara menilai kehormatan diri pribadi.
Politikus : Cukup! Bicara Nona sudah kelewat batas susila!
Perempuan: Alangkah lucunya Tan bersikap "soksusila." Apa Tuan sudah lupa kemarin malam? Tuan berbuat apa, hah? Tuan membujuk aku dengan janji-janji muluk, agar aku menjadikan losmen ini satu perusahaan bordil atasan. Dan agar aku suka jadi selir tuan secara tidak resmi....
Politikus : Itu aku protes! Nona telah dengan cara sengaja menyalahtafsirkan pembicaraanku kemaren malam itu. Nona sekarang mau mengintimidasi aku dengan tujuan pemerasan. Nona mau main intrik ya! Awas, Nona akan kutuntut.
Perempuan : Besok boleh, sekarang boleh juga. Tuan boleh protes seribu kali. Politikus menghantamkan kepalan tangan satu- nya ke atas meja. Sebelum ia sempat menjawab, si Pedagang mendahului.
Pedagang : Ingat Nona! Bapak ini seorang pejabat tinggi yang menguasai seluruh wilayah ini. Bapak ini punya kuasa dan wewenang yang sangat besar. Jangan Nona mengumbar bicara mentang-mentang .....
Perempuan: Mentang-mentang apa? Aku tidak peduli siapa tuan-tuan itu. Di mataku, Tuan-Tuan tidak lebih dari lelaki biasa. Yang sok alim, sok susila. Yang dengan segala akal bulusnya pintar main sandiwara untuk menghormatkan perbuatan isengnya yang sama sekali tidak terhormat!
Pedagang : Suara Nona seperti guntur!
Perempuan: Peduli apa! Ini dalam rumahku sendiri. Sekalipun sekarang ada bom jatuh kemari karena teriakan-teriakanku, aku tidak peduli lagi, pula bukankah tuantuan sendiri yang memulai sengketa ini.
Pedagang : Celaka sudah! Perempuan ini sudah tidak waras.
Perempuan: Pikiran Tuan sendiri bagaimana hah? Waras? Kalau Tuan waras, kenapa malam lusa kemaren Tuan ngluyur coba-coba masuk ke kamarku. Mau apa Tuan kalau begitu?
Sumber: Naskah drama Domba-Domba Revolusi,
1962
Foto: Google