loading...

Tunjangan Sertifikasi Tak Bisa Mengubah Kualitas Pendidikan Secara Instan

Artikel Terbaru:
loading...
Tunjangan Sertifikasi Tak Bisa Mengubah Kualitas Pendidikan Secara Instan--
Saya ingin menanggapi opini seorang guru besar di UNJ, Hafid Abbas. Berikut kutipan sebagian isi tulisannya (Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2013/06/12/11363332/Misteri.Pelaksanaan.Sertifikasi.Guru):
Pada 14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan publikasi: ”Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia”. Publikasi itu menunjukkan, para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama.

Program sertifikasi guru yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama beberapa tahun terakhir ternyata tidak memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional. Padahal, penyelenggaraannya telah menguras sekitar dua pertiga dari total anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen APBN (hal 68). Pada 2010, sebagai contoh, biaya sertifikasi mencapai Rp 110 triliun!

Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP.

Sertifikasi merupakan 'hadiah' pemerintah bagi pengabdian guru demi kemajuan bangsa. Penghargaan tersebut jika main hitung-hitungan, tak sebanding dengan tuntutan kerja sekarang yang semakin berat. Guru kerap mengesampingkan perhatian terhadap keluarga demi menuntaskan kerjanya. Tuntutan mengajar 24 jam seminggu masih harus ditambah dengan pekerjaan lain: mempersiapkan perangkat mengajar (dilakukan di rumah sebelum mengajar), memeriksa pekerjaan rumah siswa (dilakukan di rumah sepulang sekolah), belum lagi membuat soal untuk ulangan harian, ulangan tengah semester, dan akhir semester. Beban kerja itu harus ditambah dengan menanggung empati sekian banyak siswa yang duduk di kelas akhir karena akan mengikuti ujian nasional. Tekanan 'dari luar' agar prosentase kelulusan menggembirakan (tekanan politik) merupakan beban yang memecah konsentrasi guru.

Adanya tunjangan sertifikasi tidak serta-merta mendongkrak kualitas pendidikan secara instan, masih perlu proses, dan kita harus menunggu. Publikasi Bank Dunia juga tidak harus menjadi satu-satunya tolak ukur. Mereka punya hak membuat publikasi seperti itu karena kita pun harus mewaspadai bahwa negara lain takut bangsa kita akan maju.

Masalah lain, tunjangan sertifikasi juga tidak lancar dicairkan. Guru masih harus melengkapi ini itu agar tunjangannya cair. Bagaimana bisa maksimal bekerja? Memang betul perubahan apa pun yang dilakukan, kurikulum apa pun yang diberlakukan, dan kebijakan apa pun yang hendak diambil, jika tak menyentuh perbaikan proses belajar-mengajar di kelas, akan sia-sia. Sertifikasi merupakan salah satu stimulus agar guru terpacu memperbaiki kinerjanya dan hasilnya tidak secara instan terlihat. Menilik dari berat dan banyaknya tugas guru, tunjangan sertifikasi 1 kali gaji pokok masih belum sebanding dengan pengorbanan guru mengurangi perhatiannya terhadap keluarga!!!!!

Ada ungkapan sinis yang sering saya dengar: Murid pintar karena orangtuanya, murid bodoh, maka itu karena gurunya. Sungguh guru seolah tak ada harganya.

Sekian.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...