Artikel Terbaru: |
loading...
Pelajaran Bahasa Indonesia di Jari Kamu berbagi info tentang kutipan berita pendidikan: Koalisi Pendidikan Temukan Bukti Kecurangan UN 2013-- KOMPAS.com — Koalisi Pendidikan menemukan bukti kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) 2013 tingkat SMA/SMK/MA beberapa waktu lalu. Bukti kecurangan, antara lain berupa satu lembar kunci jawaban. Bukti itu diperoleh dari seorang siswa, sebut saja Joko, dari sekolah swasta di Jakarta yakni SMK Widuri, yang mengadu kepada gurunya.
Temuan ini dipublikasikan Koalisi Pendidikan di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) tepat pada hari pengumuman hasil UN, Sabtu (24/5/2013). "Kami juga punya rekaman pengakuan guru-guru yang membenarkan kasus Joko ini," kata Siti Juliantari Rachman dari ICW.
Menurut Juliantari, penerapan UN memicu siswa, kepala sekolah, dan guru bertindak curang. Bagi sebagian sekolah, UN memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dari kemampuan mereka. Di lain pihak, ada persyaratan sekolah dan siswa harus lulus UN. Jika tidak lulus, nama daerah, sekolah, dan siswa dianggap akan rusak di mata masyarakat.
"Ini yang memicu kecurangan massal, terstruktur, dan sistemik," kata Juliantari.
Bukti kecurangan sistemik itu bisa dilihat dari kunci jawaban yang dibuat rapi untuk 20 jenis soal. Ini dinilai ICW tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah, menjelang satu hari soal sampai di sekolah. Ini diduga dilakukan oknum lain yang mengetahui distribusi soal. Menjadi sistemik juga karena pelaku kecurangannya justru pejabat-pejabat sekolah.
Semua sekolah ingin siswanya lulus UN, tetapi tidak semua sekolah memenuhi standar nasional pendidikan. Padahal UN menggunakan soal ujian dengan standar nasional. Tidak heran jika sekolah bersedia melakukan berbagai cara untuk meluluskan siswanya. Salah satunya dengan memberikan kunci jawaban UN.
Pengakuan siswa
Dalam kasus Joko ini, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah yang justru membagikan kunci jawaban kepada siswa-siswanya. Ini diceritakan oleh Joko dan seorang teman sekolahnya kepada Koalisi Pendidikan.
Menurut Joko kepada wartawan di ICW, pada hari pertama UN yakni 15 April malam beredar pesan singkat (SMS) di kalangan siswa. Isinya, meminta mereka datang ke sekolah pukul 06.00 WIB, dan berkumpul di salah satu ruangan lantai satu sekolah mereka. SMS diduga berasal dari salah satu pejabat sekolah.
Pada hari kedua UN, 16 April, pukul 06.00 WIB siswa dikumpulkan di dua ruangan berbeda sesuai dengan jurusan mereka. Di ruangan itu, ada seorang pejabat sekolah. Ia lalu menjelaskan akan membantu siswa memperlancar pengerjaan soal UN. Kepada para siswa, pejabat sekolah itu mengaku mengambil kunci jawaban pukul 02.00 WIB. Setelah membagikan kunci jawaban, ia menjelaskan cara membaca kunci jawaban itu.
"Karena saya sudah membantu kalian, saya juga minta bantuan ke kalian. Untuk merenovasi masjid di dekat rumah saya, saya minta sekadarnya hanya Rp 30.000,-. Ditunggu sampai hari terakhir UN," demikian kata si pejabat sekolah seperti diceritakan Joko.
Hal yang sama terjadi pada hari ketiga UN. Pada hari keempat, 18 April, siswa dikumpulkan lagi di ruangan yang sama pada pukul 06.00 WIB. Pada hari itu ada dua pejabat sekolah di dalam ruangan. Namun, ketika itu sekolah tidak memberi kunci jawaban secara langsung. Siswa diminta menunggu hingga sekitar pukul 08.30 WIB karena harus dikerjakan terlebih dahulu oleh guru. Siswa diminta mengambil kunci jawaban dari dua jenis soal di kantor guru.
Pada pukul 09.00 WIB, perwakilan siswa menuju suatu ruangan untuk mengambil kunci jawaban. Kemudian ada seorang pejabat sekolah yang memberikan kunci jawaban yang ditulis tangan, dengan salah satu kode soal. Kunci jawaban itu tidak berisi semua jawaban soal, hanya 25 nomor.
Pada hari terakhir itu, pejabat sekolah mengatakan bahwa tidak ada pengawas independen sehingga boleh berdiskusi. Selama ujian berlangsung, siswa diminta mengisi jawaban pada dua lembar jawaban yakni lembar jawab komputer dan lembar jawab biasa yang disilang-silang. Ini untuk memprediksi nilai siswa, dan untuk bukti jawaban siswa jika lembar jawab komputer rusak atau terhapus.
"Selama ujian juga teman-teman berisik. Banyak siswa keluar masuk ke kamar mandi. Pengawasnya seolah-olah tidak melihat," kata Joko.
ICW menilai, perubahan jumlah variasi soal dari lima jenis menjadi 20 jenis tidak lantas menghilangkan kecurangan. Buktinya, masih ditemukan bocoran kunci jawaban di kalangan siswa. "Jika banyak kecurangan seperti ini, bagaimana validitas hasil UN 2013?" kata Juliantari.
Febri Hendri, peneliti senior ICW, menambahkan seluruh bukti itu akan dibeberkan setelah Joko mendapat jaminan perlindungan. Untuk itu, pekan depan ICW berencana akan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meminta Joko dilindungi.
"Ijazah Joko ini juga harus dilindungi. Siswa ini sudah berani jujur dan mengadu. Untuk itu harus dilindungi," ujarnya.
Temuan ini dipublikasikan Koalisi Pendidikan di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) tepat pada hari pengumuman hasil UN, Sabtu (24/5/2013). "Kami juga punya rekaman pengakuan guru-guru yang membenarkan kasus Joko ini," kata Siti Juliantari Rachman dari ICW.
Menurut Juliantari, penerapan UN memicu siswa, kepala sekolah, dan guru bertindak curang. Bagi sebagian sekolah, UN memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dari kemampuan mereka. Di lain pihak, ada persyaratan sekolah dan siswa harus lulus UN. Jika tidak lulus, nama daerah, sekolah, dan siswa dianggap akan rusak di mata masyarakat.
"Ini yang memicu kecurangan massal, terstruktur, dan sistemik," kata Juliantari.
Bukti kecurangan sistemik itu bisa dilihat dari kunci jawaban yang dibuat rapi untuk 20 jenis soal. Ini dinilai ICW tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah, menjelang satu hari soal sampai di sekolah. Ini diduga dilakukan oknum lain yang mengetahui distribusi soal. Menjadi sistemik juga karena pelaku kecurangannya justru pejabat-pejabat sekolah.
Semua sekolah ingin siswanya lulus UN, tetapi tidak semua sekolah memenuhi standar nasional pendidikan. Padahal UN menggunakan soal ujian dengan standar nasional. Tidak heran jika sekolah bersedia melakukan berbagai cara untuk meluluskan siswanya. Salah satunya dengan memberikan kunci jawaban UN.
Pengakuan siswa
Dalam kasus Joko ini, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah yang justru membagikan kunci jawaban kepada siswa-siswanya. Ini diceritakan oleh Joko dan seorang teman sekolahnya kepada Koalisi Pendidikan.
Menurut Joko kepada wartawan di ICW, pada hari pertama UN yakni 15 April malam beredar pesan singkat (SMS) di kalangan siswa. Isinya, meminta mereka datang ke sekolah pukul 06.00 WIB, dan berkumpul di salah satu ruangan lantai satu sekolah mereka. SMS diduga berasal dari salah satu pejabat sekolah.
Pada hari kedua UN, 16 April, pukul 06.00 WIB siswa dikumpulkan di dua ruangan berbeda sesuai dengan jurusan mereka. Di ruangan itu, ada seorang pejabat sekolah. Ia lalu menjelaskan akan membantu siswa memperlancar pengerjaan soal UN. Kepada para siswa, pejabat sekolah itu mengaku mengambil kunci jawaban pukul 02.00 WIB. Setelah membagikan kunci jawaban, ia menjelaskan cara membaca kunci jawaban itu.
"Karena saya sudah membantu kalian, saya juga minta bantuan ke kalian. Untuk merenovasi masjid di dekat rumah saya, saya minta sekadarnya hanya Rp 30.000,-. Ditunggu sampai hari terakhir UN," demikian kata si pejabat sekolah seperti diceritakan Joko.
Hal yang sama terjadi pada hari ketiga UN. Pada hari keempat, 18 April, siswa dikumpulkan lagi di ruangan yang sama pada pukul 06.00 WIB. Pada hari itu ada dua pejabat sekolah di dalam ruangan. Namun, ketika itu sekolah tidak memberi kunci jawaban secara langsung. Siswa diminta menunggu hingga sekitar pukul 08.30 WIB karena harus dikerjakan terlebih dahulu oleh guru. Siswa diminta mengambil kunci jawaban dari dua jenis soal di kantor guru.
Pada pukul 09.00 WIB, perwakilan siswa menuju suatu ruangan untuk mengambil kunci jawaban. Kemudian ada seorang pejabat sekolah yang memberikan kunci jawaban yang ditulis tangan, dengan salah satu kode soal. Kunci jawaban itu tidak berisi semua jawaban soal, hanya 25 nomor.
Pada hari terakhir itu, pejabat sekolah mengatakan bahwa tidak ada pengawas independen sehingga boleh berdiskusi. Selama ujian berlangsung, siswa diminta mengisi jawaban pada dua lembar jawaban yakni lembar jawab komputer dan lembar jawab biasa yang disilang-silang. Ini untuk memprediksi nilai siswa, dan untuk bukti jawaban siswa jika lembar jawab komputer rusak atau terhapus.
"Selama ujian juga teman-teman berisik. Banyak siswa keluar masuk ke kamar mandi. Pengawasnya seolah-olah tidak melihat," kata Joko.
ICW menilai, perubahan jumlah variasi soal dari lima jenis menjadi 20 jenis tidak lantas menghilangkan kecurangan. Buktinya, masih ditemukan bocoran kunci jawaban di kalangan siswa. "Jika banyak kecurangan seperti ini, bagaimana validitas hasil UN 2013?" kata Juliantari.
Febri Hendri, peneliti senior ICW, menambahkan seluruh bukti itu akan dibeberkan setelah Joko mendapat jaminan perlindungan. Untuk itu, pekan depan ICW berencana akan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meminta Joko dilindungi.
"Ijazah Joko ini juga harus dilindungi. Siswa ini sudah berani jujur dan mengadu. Untuk itu harus dilindungi," ujarnya.